Sembahyang ke Pura Ulun Danu Batur dan Pura Besakih
Hindubali.com - Halo Brosis, hari ini Selasa, 2 April 2019 saya sempatkan diri untuk Tirta Yatra atau sembahyang ke Pura Ulun Danu Batur dan juga Pura Besakih. Sudah sejak beberapa minggu saya rencanakan namun baru hari ini bisa terwujud. Seperti biasa ketika akan tangkil ke Pura Besakih maka kalau bisa tangkil dulu ke pura Ulun Danu batur karena begitulah rentetan persembahyangan selama ini.
Hari ini cuacanya cerah tanpa mendung sedikitpun sehingga perjalanan dijalan menjadi lancar. Sebelum berangkat pastikan semuanya sudah lengkap, seperti sarana persembahyangan dan gak kalah penting adalah safety riding maka harus memakai helm, jaket dan lain-lain supaya terasa nyaman saat berkendara dengan motor yang lumayan jauh dan juga cuaca yang panas.
Berangkat bersama istri saya dengan sepeda motor NMax dari Denpasar pukul 09.30 Wita sampai di lokasi parkir Pura Ulun Danu Batur sekitar pukul 10.30 Wita. Kondisi jalan lancar parkir juga ada namun selalu penuh karena banyaknya umat Hindu yang tangkil pada hari ini.
Setelah parkir lanjut persiapan persembahyangan, untuk mencapai pura harus berjalan kali lagi beberapa ratus meter, karena lokasi parkir agak jauh dari Pura. Setelah sampai di pura Ulun Danu Batur, kami harus antre dulu untuk bisa sembahyang karena masih ada umat hindu yang lain yang masih sembahyang di jeroan.
Setelah itu dapat giliran kami, namun sebelum bisa masuk ke jeroan, kami harus menunggu lagi selama 10 menit karena pengayah disana masih membersihkan sisa-sisa sarana sembahyang yang masih berserakan. Kenapa masih ada sisa / sampah? padahal selalu diingatkan kalau sehabis sembahyang sisa sarana seperti plastik pembungkus, bunga, dupa dan lain-lain tolong dipungut dan buang pada tempat sampah.
Apa pemedek tidak mengerti dengan himbauan tersebut yang diucapkan dengan bahasa Bali? padahal sudah sering diingatkan kenapa masih saja ada sampah sisa sarana sembahyang? apa gak malu ya mengotori areal sembahyang seperti itu? Kalau saya sendiri sehabis sembahyang saya selalu pungut sisa sarana sembahyang saya, setelah itu saya cari tong sampah terdekat dan saya buang disana.
Setelah itu kami pun bisa masuk ke ke jeroan, seperti biasa dengan cara berdesak-desakan dengan pemedek lainnya. Setelah itu tanpa ada hambatan kami pun melakukan persembahyangan dengan kusuk di bawah sengatan sinar matahari yang tanpa malu menampakkan diri pada hari ini. Setelah selesai sembahyang dan nunas tirta dan bija. Kami kembali ke parkir untuk melanjutkan perjalanan menuju pura Besakih.
Sebelum keluar dari parkir bayar dulu Rp 3.000 dan situasi masih agak macet karena banyaknya kendaraan baik motor maupun mobil. Menuju pura Besakih lewat jalur Suter karena itulah rute terdekat dan termudah untuk mencari pura Besakih dari Batur Kintamani. Berjarak sekitar 18 km dan bisa ditempuh selama kurang lebih satu jam. Perjalanan lancar tidak ada macet meski ada banyak kendaraan yang melintas disana.
Sebelum masuk kawasan pura Besakih, di pinggir jalan ada petugas yang memungut retribusi parkir, untuk kendaraan roda dua sebesar Rp 2.000. Setelah itu akhirnya kami tiba di kawasan pura Besakih, pertama kami sembahyang ke Pura Dalem Puri sekalian untuk mengantar istri karena istri saya belum pernah sembahyang di pura Dalem Puri ini. Sembahyang disini kita lakukan secara mandiri atau tidak di pimpin oleh pemangku. Begitu juga saat nunas tirta dan bija kita lakukan secara swalayan / mandiri.
Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi 1 km untuk menuju pura Besakih, saat sampai di parkir cuaca panas tanpa ada mendung sedikitpun. Tanpa basa-basi kami persiapkan dulu saran persembahyangan setelah itu langsung menuju pura Pedharman. Nah disini masalah mulai muncul. Jalan untuk menuju perdharman saya yakni Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan tertutup oleh pemedek yang akan tangkil ke Pedharman Pasek.
Nah dari baru masuk sudah penuh sesak, selama ini tidak ada solusi untuk masalah ini. Katanya semeton Pasek yang ingin sembahyang di Pedharmannya dan ketika belum mendapat tempat maka mereka berdiri di jalan dan menghalangi pemedek lain yang ingin mencari Pedharman yang berlokasi lebih di atas dari Pedharman Pasek.
Dengan berdesak-desakan hampir 30 menit akhirnya kami bisa melewati kerumunan orang yang akan menuju Pedharman Pasek. Setelah itu perjalanan lancar namun masalah yang sama kembali muncul, kali ini mereka yang balik dari Pedharman dan ingin ke Penataran Agung juga memenuhi jalan. Karena pintu menuju Penataran Agung masih tertutup karena banyaknya pemedek di sana.
Akhirnya kami harus menembus lagi kerumunan orang itu untuk bisa mencapai lokasi Pedharman kami bersama beberapa orang yang juga lokasi pedharmannya berada lebih di atas. Dengan pelan-pelan akhirnya kami bisa melewati kerumunan orang itu dan bisa masuk menuju pedharman kami yakni Sri Aji Kresna Kepakisan atau Dalem tarukan.
Setelah itu kami sudah berada di lokasi pura Pedharman, masih menunggu giliran untuk bersembahyang. Disini hampir tidak ada masalah, sembahyang berjalan lancar dan nyaman. Setelah selesai sembahyang di sini maka kami lanjutkan menuju pura gelap yang berlokasi paling di atas di kawasan pura Besakih ini.
Saat menuju lokasi pura Gelap tidak ada masalah karena pemedeknya sedikit. Setelah sampai disana langsung bisa sembahyang dan di pimpin oleh Jero Mangku. Setelah itu nunas tirta dan bija juga dilakukan oleh Jero mangku. Selesai sembahyang disini, kami langsung menuju lokasi pura Penataran Agung.
Dari pintu masuk suasana nampak lengang, saya pikir pasti sudah sedikit orang yang akan sembahyang ke Penataran Agung. Namun saat sudah masuk lokasi pura Penataran Agung, ternyata masih banyak pemedek disana yang antre untuk sembahyang. Namun apa boleh buat, terpaksa harus menunggu lagi. Setelah itu mendapat giliran sembahyang disana.
Suasana terasa sungguh tidak nyaman, kenapa? karena banyaknya sampah berserakan di halaman tempat duduk untuk bersembahyang. Saya tidak habis pikir kenapa sampah sisa sarana sembahyang itu sampai menumpuk seperti itu, sehingga kita duduk saat sembahyang beralaskan sampah itu.
Kenapa kesadaran umat hindu yang tangkil kesana sangat rendah untuk memungut kembali sisa sarana sembahyangnya? kenapa bisa seperti itu? apa karena malu memungut sampah sisa sembahyang milik sendiri? Apa ada kepercayaan kalau memungut sampah sisa sembahyang akan sial? atau ada alasan yang lain? ah sudahlah........
Kemudian sembahyang yang dipimpin oleh Pemangku pun selesai, setelah itu nunas tirta dan bija. Namun sebelum semua mendapat tirta dan bija, pemedek yang duduk didepan dan sudah mendapatkan tirta dan bija bangun duluan dan meninggalkan pemedek lain yang masih menerima tirta dan bija dari Pemangku.
Setelah itu saya meunuju tempat dana punia untuk berpunia dan bisa nunas gelang sangadatu untuk saya dan istri dan juga untuk teman yang nitip dimintakan gelang sanga datu di Besakih. Dapat gelang sanga datu satu gulung yang isinya lima. Namun saya minta lagi satu gulung supaya bisa dapat sepuluh gelang Sanga datu.
Setelah itu kami pun menuju ke parkir untuk menuju lokasi motor, tanpa basa-basi kami langsung memutuskan untuk pulang, namun kami sempat berhenti di pinggir jalan untuk makan dan minum dulu. Setelah itu baru pulang lewat jalur Bukit Jambul. Perjalanan sangat lancar meski banyak kendaraan yang melintas disana mulai dari kendaraan kecil sampai bus besar.
Nah itulah cerita kami saat nangkil ke Pura Ulun Danu Batur dan Pura Besakih, semoga bermanfaat dan terimakasih.
Berangkat bersama istri saya dengan sepeda motor NMax dari Denpasar pukul 09.30 Wita sampai di lokasi parkir Pura Ulun Danu Batur sekitar pukul 10.30 Wita. Kondisi jalan lancar parkir juga ada namun selalu penuh karena banyaknya umat Hindu yang tangkil pada hari ini.
Setelah parkir lanjut persiapan persembahyangan, untuk mencapai pura harus berjalan kali lagi beberapa ratus meter, karena lokasi parkir agak jauh dari Pura. Setelah sampai di pura Ulun Danu Batur, kami harus antre dulu untuk bisa sembahyang karena masih ada umat hindu yang lain yang masih sembahyang di jeroan.
Setelah itu dapat giliran kami, namun sebelum bisa masuk ke jeroan, kami harus menunggu lagi selama 10 menit karena pengayah disana masih membersihkan sisa-sisa sarana sembahyang yang masih berserakan. Kenapa masih ada sisa / sampah? padahal selalu diingatkan kalau sehabis sembahyang sisa sarana seperti plastik pembungkus, bunga, dupa dan lain-lain tolong dipungut dan buang pada tempat sampah.
Apa pemedek tidak mengerti dengan himbauan tersebut yang diucapkan dengan bahasa Bali? padahal sudah sering diingatkan kenapa masih saja ada sampah sisa sarana sembahyang? apa gak malu ya mengotori areal sembahyang seperti itu? Kalau saya sendiri sehabis sembahyang saya selalu pungut sisa sarana sembahyang saya, setelah itu saya cari tong sampah terdekat dan saya buang disana.
Setelah itu kami pun bisa masuk ke ke jeroan, seperti biasa dengan cara berdesak-desakan dengan pemedek lainnya. Setelah itu tanpa ada hambatan kami pun melakukan persembahyangan dengan kusuk di bawah sengatan sinar matahari yang tanpa malu menampakkan diri pada hari ini. Setelah selesai sembahyang dan nunas tirta dan bija. Kami kembali ke parkir untuk melanjutkan perjalanan menuju pura Besakih.
Sebelum keluar dari parkir bayar dulu Rp 3.000 dan situasi masih agak macet karena banyaknya kendaraan baik motor maupun mobil. Menuju pura Besakih lewat jalur Suter karena itulah rute terdekat dan termudah untuk mencari pura Besakih dari Batur Kintamani. Berjarak sekitar 18 km dan bisa ditempuh selama kurang lebih satu jam. Perjalanan lancar tidak ada macet meski ada banyak kendaraan yang melintas disana.
Sebelum masuk kawasan pura Besakih, di pinggir jalan ada petugas yang memungut retribusi parkir, untuk kendaraan roda dua sebesar Rp 2.000. Setelah itu akhirnya kami tiba di kawasan pura Besakih, pertama kami sembahyang ke Pura Dalem Puri sekalian untuk mengantar istri karena istri saya belum pernah sembahyang di pura Dalem Puri ini. Sembahyang disini kita lakukan secara mandiri atau tidak di pimpin oleh pemangku. Begitu juga saat nunas tirta dan bija kita lakukan secara swalayan / mandiri.
Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi 1 km untuk menuju pura Besakih, saat sampai di parkir cuaca panas tanpa ada mendung sedikitpun. Tanpa basa-basi kami persiapkan dulu saran persembahyangan setelah itu langsung menuju pura Pedharman. Nah disini masalah mulai muncul. Jalan untuk menuju perdharman saya yakni Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan tertutup oleh pemedek yang akan tangkil ke Pedharman Pasek.
Nah dari baru masuk sudah penuh sesak, selama ini tidak ada solusi untuk masalah ini. Katanya semeton Pasek yang ingin sembahyang di Pedharmannya dan ketika belum mendapat tempat maka mereka berdiri di jalan dan menghalangi pemedek lain yang ingin mencari Pedharman yang berlokasi lebih di atas dari Pedharman Pasek.
Dengan berdesak-desakan hampir 30 menit akhirnya kami bisa melewati kerumunan orang yang akan menuju Pedharman Pasek. Setelah itu perjalanan lancar namun masalah yang sama kembali muncul, kali ini mereka yang balik dari Pedharman dan ingin ke Penataran Agung juga memenuhi jalan. Karena pintu menuju Penataran Agung masih tertutup karena banyaknya pemedek di sana.
Akhirnya kami harus menembus lagi kerumunan orang itu untuk bisa mencapai lokasi Pedharman kami bersama beberapa orang yang juga lokasi pedharmannya berada lebih di atas. Dengan pelan-pelan akhirnya kami bisa melewati kerumunan orang itu dan bisa masuk menuju pedharman kami yakni Sri Aji Kresna Kepakisan atau Dalem tarukan.
Setelah itu kami sudah berada di lokasi pura Pedharman, masih menunggu giliran untuk bersembahyang. Disini hampir tidak ada masalah, sembahyang berjalan lancar dan nyaman. Setelah selesai sembahyang di sini maka kami lanjutkan menuju pura gelap yang berlokasi paling di atas di kawasan pura Besakih ini.
Saat menuju lokasi pura Gelap tidak ada masalah karena pemedeknya sedikit. Setelah sampai disana langsung bisa sembahyang dan di pimpin oleh Jero Mangku. Setelah itu nunas tirta dan bija juga dilakukan oleh Jero mangku. Selesai sembahyang disini, kami langsung menuju lokasi pura Penataran Agung.
Dari pintu masuk suasana nampak lengang, saya pikir pasti sudah sedikit orang yang akan sembahyang ke Penataran Agung. Namun saat sudah masuk lokasi pura Penataran Agung, ternyata masih banyak pemedek disana yang antre untuk sembahyang. Namun apa boleh buat, terpaksa harus menunggu lagi. Setelah itu mendapat giliran sembahyang disana.
Suasana terasa sungguh tidak nyaman, kenapa? karena banyaknya sampah berserakan di halaman tempat duduk untuk bersembahyang. Saya tidak habis pikir kenapa sampah sisa sarana sembahyang itu sampai menumpuk seperti itu, sehingga kita duduk saat sembahyang beralaskan sampah itu.
Kenapa kesadaran umat hindu yang tangkil kesana sangat rendah untuk memungut kembali sisa sarana sembahyangnya? kenapa bisa seperti itu? apa karena malu memungut sampah sisa sembahyang milik sendiri? Apa ada kepercayaan kalau memungut sampah sisa sembahyang akan sial? atau ada alasan yang lain? ah sudahlah........
Kemudian sembahyang yang dipimpin oleh Pemangku pun selesai, setelah itu nunas tirta dan bija. Namun sebelum semua mendapat tirta dan bija, pemedek yang duduk didepan dan sudah mendapatkan tirta dan bija bangun duluan dan meninggalkan pemedek lain yang masih menerima tirta dan bija dari Pemangku.
Setelah itu saya meunuju tempat dana punia untuk berpunia dan bisa nunas gelang sangadatu untuk saya dan istri dan juga untuk teman yang nitip dimintakan gelang sanga datu di Besakih. Dapat gelang sanga datu satu gulung yang isinya lima. Namun saya minta lagi satu gulung supaya bisa dapat sepuluh gelang Sanga datu.
Setelah itu kami pun menuju ke parkir untuk menuju lokasi motor, tanpa basa-basi kami langsung memutuskan untuk pulang, namun kami sempat berhenti di pinggir jalan untuk makan dan minum dulu. Setelah itu baru pulang lewat jalur Bukit Jambul. Perjalanan sangat lancar meski banyak kendaraan yang melintas disana mulai dari kendaraan kecil sampai bus besar.
Nah itulah cerita kami saat nangkil ke Pura Ulun Danu Batur dan Pura Besakih, semoga bermanfaat dan terimakasih.
Posting Komentar untuk "Sembahyang ke Pura Ulun Danu Batur dan Pura Besakih"